Sepasang
muda-mudi duduk di bangku taman menikmati suasana mesra bulan
purnama. Mereka berpegangan tangan. Mereka berangkulan. Mereka
berciuman. Selama beberapa jam mereka duduk di situ tanpa berbicara.
Seorang
nenek dan kakek duduk di ruang tunggu bandar udara. Mereka menunggu
pesawat yang akan membawa mereka ke rumah anak, menantu dan cucunya.
Wajah nenek dan kakek itu tampak tenteram. Mereka tampak larut dalam
lamunan. Nenek itu tampak seperti tersenyum sendiri. Mungkin ia
sedang membayangkan diri bermain ayunan dengan cucunya. Selama
beberapa jam nenek dan kakek itu duduk di situ tanpa berbicara.
Berada
bersama orang lain dan saling menikmati kehadiran tanpa berbicara
juga bisa merupakan perbuatan solider dan bersimpati, memberi
dukungan, tanda persahabatan atau itikad menunjukan pengertian atau
perasaan.
Komunikasi
bisa terjadi baik melalui berbicara maupun melalui berdiam diri.
Keduanya mempunyai keunggulan masing-masing.
Komunukasi
melalui bicara bisa mengungkapkan pikiran dan perasaan secara
gamblang. Di situ bisa terjad saling bagi pandangan dan paham. Namun,
di lain pihak, komunikasi bicara juga bisa mengandung kepalsuan. Kita
lebih mudah berdusta dengan bahasa kata daripada dengan bahasa tubuh.
Bukankah sekian persen dari komunikasi bicara sebenarnya merupakan
retorik belaka, berupaya rayuan gombal, pujian palsu, janji kosong,
hiburan picisan atau nasihat murahan.
Sebab
itu, komunikasi tidak selalu berbentuk kata. Perlu ada keseimbangan
antara komunikasi bicara dengan komunikasi berdiam diri. Pengkhotbah
mengingatkan, “...ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk
berbicara”(pkh. 3:7).
Dalam
jiwa yang sehat terdapat keseimbangan antara berbicara dan berdiam
diri. Dietrich Bonhoeffer, pakar teologi Jerman tahun 1940-an,
menulis dalam The Day Alone, “Let him who cannot be alone beware
of community, and let him who is not community beware of being
alone”. Artinya: “Orang
yang tidak suka berada sendirian hendaknya berhati-hati terhadap
kebersamaan dengan orang lain, sebaliknya orang yang tidak berada
bersama orang lain hendaknya berhati-hati terhadap keadaan berada
sendirian”. Bonhoeffer mengajak kita belajar menciptakan keteduhan
diri sebagai buah dari keteduhan spiritual.
Orang yang berkepribadian matang tahu kapan harus bicara dan kapan
harus diam. Ini berlaku juga dalam hubungan kita dengan Tuhan.
Berhubungan dengan Tuhan tidak selalu harus dengan kata-kata. Justru
kita menghadap Tuhan kita harus lebih banyak berdiam diri, sama
seperti seorang murid berdiam diri ketika memasuki ruang kerja
gurunya.
Menurut Bonhoeffer berdiam diri di hadapan Tuhan terwujud dalam tiga
bentuk, yaitu meditas, doa dan syafaat.
Pertama, kita bermeditasi atau merenung sambil merendah secara jiwa
dan raga di hadapan sabda Tuhan. Kita membaca Alkitab dan buku-buku
rohani dengan dambaan agar kata-kata di situ diubah oleh roh menjadi
sabda Tuhan. Oleh sebab itu, kita membaca dengan upaya untuk
memahaminya. Kita membacanya kata demi kata secara cermat. Kalu perlu
kita berulang kali membacanya.
Kedua, kita berdoa namum bukan dalam arti berkata-kata kepada Tuhan,
melainkan membiarkan Tuhan berkata-kata kepada kita. Maksudnya,
bermawas diri tentang apa makna sabda Tuhan itu untuk diri kita dan
membiarkan diri kita disapa, ditopang, diajar, dididik, diberi tahu,
dimarahi, ditegur dan dibelokkan ke arah kehendak Tuhan.
Ketiga, kita beryafaat bagi orang yang membutuhkan tempat dalam hati
kita. Kita seolah-olah duduk bersama orang itu: Audri yang minggu
depan akan wisuda, keluarga Pak Budi yang sedang sibuk pindah rumah,
Pak Cecep yang sedang bingung mencari pekerjaan, Desi yang kena demam
berdarah, Bu Eli yang gelisah menunggu-nunggu surat dari anaknya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata kita berdiam diri di depan Tuhan
sambil merasakan keadaan yang konkret dari seorang yang konkret.
Tanpa kata kita bersujud bersama di depan Tuhan sebagai sesama yang
butuh pengasihan Kristus.
Tentu saja ada kesempatan yang lain kita bisa berkomunikasi dengan
Tuhan melalui bicara. Kita boleh berbicara sepuasnya dan sebebasnya
dengan Tuhan, Tuhan terbuka untuk menjadi pihak yang mendengarkan.
Tetapi masakan komunikasi dengan Tuhan selalu bentuk bicara? Bukankah
perlu ada keseimbangan antara berbicara dan berdiam diri? “Ada
waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara”, tulis
Pengkhotbah.
Berdiam diri di hadapan Tuhan bisa merupakan pembukaan pagi hari
sebelum kita melakukan segala kesibukan. Bukankah Dia yang empunya
kata pertama? Lalu pada malam hari seusai segala kesibukan kita
mengakhiri dengan berdiam diri kembali di depan Tuhan. Bukankah Dia
empunya kata terakhir?
Mungkin
kita berdiam diri di depan Tuhan selama lima menit, mungkin juga
setengah jam. Panjangnya waktu tidak penting. Yang penting adalah
bahwa kita bukan langsung bicara, ngomong atau
nyerocos setiap kali
bertemu dengan Tuhan, melainkan kita tahu diri untuk berdiam diri.
Berdiam diri di sini bukan berdiam diri yang angkuh atau marah dengan
cara bungkam atau membisu, melainkan berdiam diri yang rendah dan
menunduk.
MEGA DRIVE 1BAMLIS - Titsanium Arctoplus Botry
ReplyDeleteMEGA ceramic vs titanium curling iron DRIVE 1BAMLIS is a unique titanium suppressor and exotic multi-reel, single-row ford escape titanium for sale machine by Titsanium t fal titanium Arctoplus Botry. All-wheel, single-row machine, and 1-row titanium pan machine.